Pendahuluan
Ø Otonomi daerah
yang memasyarakat
Ø Memahami otonomi
daerah Indonesia
pembahasan
Ø Otonomi
daerah
Otonomi
daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan
kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain
berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi
yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih
luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan
dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Pelaksanaan otonomi daerah
memperbaiki kesejahteraan para artis. Pengembangan suatu daerah
dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah
masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah
untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak
daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan
kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas
berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan
tidak melanggar ketentuan hukum Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik
fokus yang tidak sama sekali penting dalam rangka yaitu ya perundang undangaan.
Otonomi
daerah di Indonesia
Otonomi
daerah di Indonesia adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945
berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia,
yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara
("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan
dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan
desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada
Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan
beberapa dasar pertimbangan[3]:
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme
kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya
aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak"
pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan
potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan
kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan
untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk
lebih baik dan maju
Tujuan otonomi daerah
1. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin
baik.
2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
3. Keadilan.
4. Pemerataan.
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat
dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas,
meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Perkembangan kebijakan otonomi
daerah di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional
Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945,
dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah
kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena
itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom
yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-Undang.
Peraturan perundangan yang
pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan
darurat, sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera
saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan
sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri
Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan
secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini
menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota
berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi
berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administratif
belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera,
propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan
Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei
1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir
menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak
dapat dilihat secara jelas sistem rumah tangga apa yang dianut oleh
Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok
tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur
tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa
daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri,
marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.(Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak
dinyatakan mengenai sistem rumah tangga yang
dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui sistem mana yang dianutnya,
kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur
batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini
terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat sebagai berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan
rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan
bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat
bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi
dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan
untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk
dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya
kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan
UU.
Dari uraian di atas terlihat
bahwa UU ini menganut sistem atau ajaran materiil.
Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut
otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan
kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom
dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah
pusat.
Hanya saja sistem ini ternyata
tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan
dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika
hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam
Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas
membawa ciri sistem rumah tangga formil bahwa. Jadi pada dasarnya UU ini
menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena
sifat-sifat sistem materiil lebih menonjol maka namyak yang beranggapan UU ini
menganut system Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27
Desember 1949 RI menandatanganiKonferensi Meja Bundar, dimana RI hanya sebagai
Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya hanya
meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan.
Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai
tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini
mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun
1959 dan Penetapan PresidenNomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi
dari system otoniomi yang dianut adalah sistem otonomi riil, sebagaimana
secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan
tentang sistem otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3
sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali
urusan yang oleh Undang-Undang diserahkan kepada penguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi
ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan
urusan-urusan tertentu yang diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat
Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Dengan peraturan
pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari
masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang
bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta
pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny,
urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut
terlihat bahwa ciri-ciri sistem otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan
dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika
banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi
karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka
tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut sistem yang dapat
diberi nama sendiri yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU
ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan
PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli 1959
menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi
dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak
bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah
dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala
Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya
melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan
Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990)
Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan
umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun
1957.
Dalam pelaksanaannya meski
konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan
seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih
berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu (
UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak
berbicara apa-apa mengenai sistem otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan
sebagai sistem atau faham atau pengertian akan
tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa
pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973,
yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai
digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak
lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak
lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978
menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk
mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang
mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah
dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan
ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur
tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi
daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi
“Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi
“sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik
kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur
pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh
Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas
maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut sistem atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak
ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan
Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau
dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari sistem rumah tangga formil.
f. UU
Nomor 22 tahun 1999 Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak
dinyatakan secara gamblang tentang sistem atau ajaran rumah tangga yang
dianutnya. Untuk dapat mengetahui sistem atau ajaran yang dianut kita harus
melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau
luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah.
Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU
Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah
kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan.
Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan
propinsi.
Adapun ketentuan yang
mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah
dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan
bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan
Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang
tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui
kewenangan propinsi sebagai daerah administratif mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1
daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan
bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan
pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur
dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat
sistem atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan
antara ajaran rumah tangga material danajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran
materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara jelas
apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada
system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula
ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81
didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk
mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan
bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang
meruapakan ciri daripada sistem atauajaran rumah tangga formil.
Ø Kesimpulan
Otonomi daerah
adalah kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan
Ø Saran
Bahwa setiap
daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya
nasional yang tersedia di wilayahnya
Ø
Daftar pusataka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar