· PENDAHULUAN
- Demokrasi yang terjadi di indonesia
- Untuk membangun demokrasi di suatu negara dengan baik
· PEMBAHASAN
Demokrasi di indonesia
Demokrasi adalah suatu pemikiran manusia yang mempunyai kebebasan berbicara, megeluarkan pendapat. Negara Indonesia menunjukan sebuah Negara yang sukses menuju demokrasi sebagai bukti yang nyata, dalam peemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Selain itu bebas menyelenggarakan kebebasan pers. Semua warga negar bebas berbicara, mengeluarkan pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat bahkan dalam memilih salah satu keyakinan pun dibebaskan.
Untuk membangun suatu system demokrasi disuatu Negara bukanlah hal yang mudah karena tidak menutup kemungkinan pembangunan system demokrasi di suatu Negara akan mengalami kegagalan. Tetapi yang harus kita banggakan dmokrasi dinegara Indonesia sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat contahnya dari segi kebebasan, berkeyakinan, berpendapat atau pun berkumpul mereka bebas bergaul tanpa ada batasan-batasan yang membatasi mereka. Tapi bukan berarti demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sempurna masih banyak kritik-kritik yang muncul terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya bisa menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam hal berkeyakian juga pemerintah belum sepenuhnya. Berdasarkan survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi smakin besar bahkan demokrasi adalah system yang terbaik meskipun system demokrasi itu tidak sempurna.
Dengan begitu banyaknya persoalan yang telah melanda bangsa Indonesia ini. Keberhasilan Indonesia dalam menetapkan demokrasi tentu harus dibanggaan karena banyak Negara yang sama dengan Negara Indonesia tetapi Negara tersebut tidak bisa menegakan system demokrasi dengan baik dalam artian gagal. Akibat demokrasi jika dilihat diberbagai persoalan dilapangan adalah meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya kemacetan dijalan, semakin parahnya banjir masalah korupsi, penyelewengan dan itu adalah contoh penomena dalam suatu Negara system demokrasi, demokrasi adalah system yang buruk diantara alternatif-alternatif yang lebih buruk tetapi demokrasi memberikan harapan untuk kebebasan, keadilan dan kesejahtraan oleh karena itu banyak Negara-negara yang berlomba-lomba menerapkan system demokrasi ini.
Dalam kehidupan berpolitik di setiap Negara yang kerap selalu menikmati kebebasan berpolitik namun tidak semua kebebasan berpolitik berjalan sesuai dengan yang di inginkan, karena pada hakikatnta semua system politik mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Demokrasi adalah sebuah proses yang terus-menerus merupakan gagasan dinamis yang terkait erat dengan perubahan. Jika suatu Negara mampu menerapkan kebebasan, keadilan, dan kesejahtraan dengan sempurna. Maka Negara tersebut adalah Negara yang sukses menjalankan system demokrasi sebaliknya jika suatu Negara itu gagal menggunakan system pemerintahan demokrasi maka Negara itu tidak layak disebut sebagai Negara demokrasi. Oleh karena itu kita sebagai warga Negara Indonesia yang meganut system pemerintahan yang demokrasi kita sudah sepatutnya untuk terus menjaga dan memperbaiki, melengkapi kualitas-kualitas demokrasi yang sudah ada. Demi terbentuknya suatu system demokrasi yang utuh di dalam wadah pemeritahan bangsa Indonesia. Demi tercapaiya suatu kesejahtraan, tujuan dari cita-cita demokrasi yang sesungguhnya akan mengangkat Indonesia ke dalam suatu perubahan.
Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
- Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Demokrasi atau unjuk rasa
Demonstrasi alias unjuk rasa itu adalah gerakan memprotes dan menentang. Protes dan tentangan seperti ini diperbolehkan di alam demokrasi justru karena rakyatlah paling berhak dalam kepemerintahan Negara.
Dengan demikian demonstrasi (bukan tipe pertama alat strom tubuh) pada asasnya adalah salah satu realisasi demokrasi. Demonstrasi adalah ungkapan nilai (values) mendasarnya demokrasi, yakni nilai kebebasan dan kemerdekaan. Bila disebutkan sebagai nilai mendasar (intrinsic values) maka akan lebih dari sekadar nilai instrumental, sejenis nilai yang sekaligus terkait dalam aksi demonstrasi. Jadi, demonstrasi itu sendiri sekaligus alat atau sarana buat menyampaikan pesan politik, sehingga tidak dibutuhkan lagi alat-alat tambahan seperti batu dan kerikil, ketapel dan ban bekas. Tambahannya jika pun perlu hanyalah sorak-sorak bergembira, yel holopis kuntul baris, atau yel-yel pelepas rasa kesal di dada seperti: mbel geduel, yang bila diucapkan bareng-bareng akan keluar estetikanya. Pemimpin demo memulai teriakan “Pemerintah bego!” dan disambung secara massal: “mbel geduel.....!!! Coba saja dimulai minggu depan !
Karena memang melekat dalam konsep demokrasi, demonstrasi sebagai pengejawantahan demokrasi tidak bisa tidak mengindahkan nilai-nilai lain yang juga melekat dalam demokrasi. Nilai kebebasan sebagai turunan atau bahkan basis demokrasi, janganlah mengalami absolutisasi. Kebebasan tanpa batas itu tidak ada; dus, para pelaku demonstrasi mesti paham betul bahwa demonstrasi (baca:kebebasan) itu bukan bersaudara melainkan berseteruan dengan anarki. Jika aksi- aksi demo di negeri bekatul ini lantas menyeruakkan gejala- gejala destruksi - memecah gardu kepolisian, membakar motor dan mobil, ngebroki bandara, ngrayah makanan di restoran - semua itu sama sekali bukan demokrasi.Tokoh-tokoh kaum pendemo itu gagal memaknai kebebasan dan demokrasi berhubung demokrasi itu lentur dan lembut sebagaimana kata William Ebenstein.
Demokrasi atau kebebasan thok, tidak ada! Kebebasan sebagai nilai, jelas mempersyaratkan dikenali, dipahami serta dihayatinya sejumlah nilai-nilai intrinsik lainnya sebagai saudara sekandung demokrasi: respek terhadap sasaran; rasionalitas, pengutamaan cara-cara damai, dan kepatuhan kepada tri-norma kehidupan, yakni tatakrama, hukum, dan moralitas. Kalau demonstrasi tidak mau kenal dengan nilai-nilai tersebut, peringatan Aristoteles bisa - dan memang acapkalióterjadi: manusia sebagai ciptaan lekas terdegradasi keberadaannya ke lembah kenistaan di bawah level kehewanan. Inilah demoralisasi, yang artinya adalah pemerosotan akhlak. Bagi nabi ilmu pengetahuan Aristoteles, akhlaklah penanda pokok kemanusiaan manusia. Lepas akhlak dari sang manusia, lepaslah kemanusiaannya.
Maka itu selain demokrasi seharusnya mendemonstrasikan, demonstrasi pun seharusnya mendemokrasikan. Demokrasi harus mendemonstrasikan gumpalan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, bukan membantingnya bagaikan melempar telor mentah ke atas jubin keramik seperti sering dilakukan oleh para elite negara dan kepartaian. Bantingan simbolik itu, misalnya dalam pemilu sebagai representasi demokrasi malah penuh patgulipat dan kecurangan. Bantingan telor-telor mentah ke atas jubin itu pun jauh lebih sadis di era pasca demokrasi yang menghasilkan penguasa-penguasa dagelan dan murahan. Tiga wadah trias politika terisi oleh mental permalingan.
Dalam hal sebaliknya dimana demonstrasi seharusnya juga mendemokrasikan, gerakan massif turun ke jalan memprotes kenaikan BBM jangan sampai merampok kebebasan pengguna jalan yang dilindungi UU Lalulintas jalan. Unjuk rasa itu tak lebih dari sejenis perbincangan tentang pokok-pokok kenegarabangsaan, dengan cara lain. Persis seperti “perang adalah diplomasi dalam ujud lain.” Dengan demikian demonstrasi seperti itu akan sanggup memuliakan (nilai-nilai) demokrasi, karena sekaligus menawarkan alternatif bagi solusi permasalahan yang disodorkan kepada tuan-tuan yang berkuasa. Para penguasa di negeri bekatul yang - notabena— sebagian penting sejatinya tidak patut menduduki kursi-kursi kepenguasaan itu.
Jangankan seorang nabi dan rasul, pujangga Ranggawarsita pun mampu meramalkan kejadian yang tepat dan akurat. Maka itu, hadits Rasulullah SAW berikut ini terasa ibarat supra-ramalan: “Jika sesuatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.” Demokrasi di negeri bekatul sama sekali tidak berhasil mendemonstrasikan keandalan dan keunggulannya sama halnya, demonstrasi yang bahkan bila dilakukan oleh kaum intelektual muda bernama mahasiswa; sama sekali tidak mampu mendemokrasikan. Kedua belah pihak kini sekadar mendemoralisasikan.
Dengan demikian demonstrasi (bukan tipe pertama alat strom tubuh) pada asasnya adalah salah satu realisasi demokrasi. Demonstrasi adalah ungkapan nilai (values) mendasarnya demokrasi, yakni nilai kebebasan dan kemerdekaan. Bila disebutkan sebagai nilai mendasar (intrinsic values) maka akan lebih dari sekadar nilai instrumental, sejenis nilai yang sekaligus terkait dalam aksi demonstrasi. Jadi, demonstrasi itu sendiri sekaligus alat atau sarana buat menyampaikan pesan politik, sehingga tidak dibutuhkan lagi alat-alat tambahan seperti batu dan kerikil, ketapel dan ban bekas. Tambahannya jika pun perlu hanyalah sorak-sorak bergembira, yel holopis kuntul baris, atau yel-yel pelepas rasa kesal di dada seperti: mbel geduel, yang bila diucapkan bareng-bareng akan keluar estetikanya. Pemimpin demo memulai teriakan “Pemerintah bego!” dan disambung secara massal: “mbel geduel.....!!! Coba saja dimulai minggu depan !
Karena memang melekat dalam konsep demokrasi, demonstrasi sebagai pengejawantahan demokrasi tidak bisa tidak mengindahkan nilai-nilai lain yang juga melekat dalam demokrasi. Nilai kebebasan sebagai turunan atau bahkan basis demokrasi, janganlah mengalami absolutisasi. Kebebasan tanpa batas itu tidak ada; dus, para pelaku demonstrasi mesti paham betul bahwa demonstrasi (baca:kebebasan) itu bukan bersaudara melainkan berseteruan dengan anarki. Jika aksi- aksi demo di negeri bekatul ini lantas menyeruakkan gejala- gejala destruksi - memecah gardu kepolisian, membakar motor dan mobil, ngebroki bandara, ngrayah makanan di restoran - semua itu sama sekali bukan demokrasi.Tokoh-tokoh kaum pendemo itu gagal memaknai kebebasan dan demokrasi berhubung demokrasi itu lentur dan lembut sebagaimana kata William Ebenstein.
Demokrasi atau kebebasan thok, tidak ada! Kebebasan sebagai nilai, jelas mempersyaratkan dikenali, dipahami serta dihayatinya sejumlah nilai-nilai intrinsik lainnya sebagai saudara sekandung demokrasi: respek terhadap sasaran; rasionalitas, pengutamaan cara-cara damai, dan kepatuhan kepada tri-norma kehidupan, yakni tatakrama, hukum, dan moralitas. Kalau demonstrasi tidak mau kenal dengan nilai-nilai tersebut, peringatan Aristoteles bisa - dan memang acapkalióterjadi: manusia sebagai ciptaan lekas terdegradasi keberadaannya ke lembah kenistaan di bawah level kehewanan. Inilah demoralisasi, yang artinya adalah pemerosotan akhlak. Bagi nabi ilmu pengetahuan Aristoteles, akhlaklah penanda pokok kemanusiaan manusia. Lepas akhlak dari sang manusia, lepaslah kemanusiaannya.
Maka itu selain demokrasi seharusnya mendemonstrasikan, demonstrasi pun seharusnya mendemokrasikan. Demokrasi harus mendemonstrasikan gumpalan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, bukan membantingnya bagaikan melempar telor mentah ke atas jubin keramik seperti sering dilakukan oleh para elite negara dan kepartaian. Bantingan simbolik itu, misalnya dalam pemilu sebagai representasi demokrasi malah penuh patgulipat dan kecurangan. Bantingan telor-telor mentah ke atas jubin itu pun jauh lebih sadis di era pasca demokrasi yang menghasilkan penguasa-penguasa dagelan dan murahan. Tiga wadah trias politika terisi oleh mental permalingan.
Dalam hal sebaliknya dimana demonstrasi seharusnya juga mendemokrasikan, gerakan massif turun ke jalan memprotes kenaikan BBM jangan sampai merampok kebebasan pengguna jalan yang dilindungi UU Lalulintas jalan. Unjuk rasa itu tak lebih dari sejenis perbincangan tentang pokok-pokok kenegarabangsaan, dengan cara lain. Persis seperti “perang adalah diplomasi dalam ujud lain.” Dengan demikian demonstrasi seperti itu akan sanggup memuliakan (nilai-nilai) demokrasi, karena sekaligus menawarkan alternatif bagi solusi permasalahan yang disodorkan kepada tuan-tuan yang berkuasa. Para penguasa di negeri bekatul yang - notabena— sebagian penting sejatinya tidak patut menduduki kursi-kursi kepenguasaan itu.
Jangankan seorang nabi dan rasul, pujangga Ranggawarsita pun mampu meramalkan kejadian yang tepat dan akurat. Maka itu, hadits Rasulullah SAW berikut ini terasa ibarat supra-ramalan: “Jika sesuatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.” Demokrasi di negeri bekatul sama sekali tidak berhasil mendemonstrasikan keandalan dan keunggulannya sama halnya, demonstrasi yang bahkan bila dilakukan oleh kaum intelektual muda bernama mahasiswa; sama sekali tidak mampu mendemokrasikan. Kedua belah pihak kini sekadar mendemoralisasikan.
· KESIMPULAN DAN SARAN
- KESIMPULAN
Demokrasi gerakan memprotes dan menentang. Protes dan tentangan seperti ini diperbolehkan di alam demokrasi justru karena rakyatlah paling berhak dalam kepemerintahan Negara.
Demonstrasi adalah mempertontonkan sambil menawarkan, yang bisa bermakna ganda.
Demonstrasi adalah mempertontonkan sambil menawarkan, yang bisa bermakna ganda.
- SARAN
Dalam berdemokrasi tidak harus memakai kekerasan karena masih banyak cara lain yang Lebih baik dan tidak merugikan orang lain dan juga tidak merugikan diri sendiri
· DAPTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Slamet Sutrisno, Pengajar Etika
Profesi dan Dosen Fakultas Filsafat UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar